Percuma Berilmu jika Menghargai Sesama Saja Tak Mampu
Sabtu, 25 Januari 2020
Tambah Komentar
Semakin hari rasa tenggang rasa dan saling menghargai
sesama manusia terasa semakin menipis. Lihat saja bagaimana netizen berkomentar
dengan pedasnya, bagaimana orang-orang semakin angkuh dan sombong akan sesuatu
yang dimilikinya, bagaimana ketidaktahuan seseorang bisa dianggap lelucon bagi
orang kebanyakan.
Melihat
fenomena yang demikian membuat saya banyak berpikir tentang bagaimana kita
seharusnya hidup bersosial. Manusia adalah makhluk sosial. Mereka hidup dengan
saling membutuhkan satu sama lainnya.
Lalu
bagaimana kehidupan manusia jika antar sesama manusia sendiri rasa
menghargainya kini semakin tidak ada? Dan lebih mirisnya bagaimana bisa yang
lebih berilmu, yang berpendidikan tinggi justru tak memiliki rasa itu? Bukan
artinya hanya orang berilmu yang wajib memiliki rasa saling menghargai, namun
setidaknya kita yang merasa lebih tahu bisa menjadi contoh di masyarakat.
Kehidupan
sosial yang paling menarik perhatian saya perihal rasa saling menghargai ini
adalah kehidupan sosial dilingkungan pekerjaan.
Dunia kerja adalah tempat berkumpulnya orang dengan beragam latar belakang
pendidikan dan beragam profesi saling berinteraksi satu sama lainnya demi
tujuannya masing-masing.
Di
sanalah salah satu tempat sosial dimana saling menghargai menjadi perkara yang
sangat sulit untuk diterapkan.
Rasa
ego dan angkuh yang dimiliki manusia menjadi faktor utamanya. Terlebih ketika
mereka merasa memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi atau jabatan
yang lebih mumpuni. Mereka menjadikan kelebihan itu sebagai faktor untuk
menaikkan derajat mereka dibanding manusia lain disekitarnya.
Saya
pernah mendengar sebuah cerita dari seseorang yang berprofesi sebagai office girl disebuah perusahaan.
Bagaimana ia merasa terharu ketika di perusahaan baru tempat ia bekerja saat
ini, ia bisa berbicara dengan nyaman dengan semua karyawan bahkan hingga
pejabat teratas bahkan dipersilakan makan ditempat yang sama bersama karyawan
lainnya.
Berbeda
dari tempat kerjanya yang lama, ketika perlakuan yang didapatkan didasarkan
pada profesi mereka dalam perusahaan itu. Bahkan ia pernah mendapat makian dari
seorang atasan. Hal demikian tidak hanya ada dalam drama atau sinetron yang
sering disiarkan, tapi pada kenyataannya memang ada yang diperlakukan
demikian.
Di
cerita lainnya ada seorang ibu yang membagi kisahnya kepada saya bahwa ia
dimarahi oleh petugas bank karena tidak mengerti cara pengisian formulir untuk
kebutuhan transaksinya.
Bukankah
wajar ketika kita sebagai masyarakat awam ada hal yang kita tidak ketahui
perihal masalah perbankan? Dan bukankah itu alasan kita datang ke bank? Untuk
meminta bantuan atas apa yang kita butuhkan? Lalu yang berprofesi sebagai pihak
yang memberikan pelayanan bukankah seharusnya memberikan pertolongan tanpa
merasa direpotkan?
Bahkan
seorang pemudi pernah merasa trauma karena dicecar di depan umum saat sedang
kesulitan dalam melakukan transaksinya. Logikanya, kita tak akan melakukan
kesalahan atau tidak akan bertanya ketika kita sudah mengerti dan tahu tata
caranya.
Saya
pernah bertemu seseorang yang ketika ingin memasuki area ATM, ia
melepaskan alas kakinya di depan pintu kaca yang menutupi area ATM. Kalian tahu
apa alasannya mengapa dia melakukan itu?
Karena
beliau tidak tahu. Karena melihat tempat dengan tegel putih dan pintu kaca
membuatnya berpikir kalau tempat itu harus bersih sehingga ia melepaskan alas
kakinya yang ia rassa kotor.
Namum
mirisnya ada orang lain yang saat itu juga melihatnya justru merasa hal
tersebut sangat lucu. Mereka hanya diam dengan ekspresi menahan tawa.
Kisah lainnya adalah ketika seseorang sedang memberi
arahan dan orang tersebut melakukan kesalahan. Kebanyakan yang terjadi kita
akan menertawakan atau bahkan menjadikannya gunjingan dengan keryawan lain.
Namun
ketahuilah bahwa bicara di depan orang banyak bukanlah hal yang sederhana. Kita
tidak tahu pergejolakan yang mereka rasakan hingga berani bicara di depan.
Sekalipun orang itu sudah profesional, mereka juga tidak luput dari kesalahan
bukan?
Berprofesi
sebagai orang yang memberikan pelayanan membuat saya melihat banyak kejadian
yang demikian saat bekerja. Masih sangat jelas diingatan saya beberapa ekspresi
yang membuat saya berpikir dua kali saat ingin berkata atau bertindak akan
sesuatu. Ekspresi ragu seseorang saat ingin bertanya, ekspresi ketika mereka
merasa gugup saat melakukan kesalahan atau ekspresi ketika mereka malu ketika
dipandang aneh oleh sekitar.
Berpikirlah
lebih terbuka karena apa yang kita katakan dan lakukan bisa saja mempengaruhi
perasaan atau hidup seseorang. Memarahi orang dengan kata kasar atau
mempermalukan orang di depan umum misalnya. Melakukan hal demikian tak akan
membuat kita dilihat sebagai orang yang lebih tinggi, justru sikap yang
demikian membuat kepandaianmu terlihat berkurang. Buat apa berilmu jika
menghargai sesamamu saja kamu tidak mampu.
Rasa
malu dan rasa direndahkan menjadikan mereka yang tidak tahu semakin jauh
terpuruk dalam ketidaktahuannya. Karena mereka takut. Mereka takut untuk bertanya
saat mereka ingin tahu. Mereka takut menghadapi perlakuan yang sama ketika
berhadapan dengan mereka yang lebih berilmu.
Pada
dasarnya ketika kita merasa lebih tahu akan sesuatu, berbagilah. Beri tahu apa
yang kita tahu kepada mereka yang ingin tahu dan butuh tahu.
Manusia
tak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu kita perlu bisa saling menghargai. Saat
ada yang tak kamu sukai, tak usah dikomentari. Saat ada yang salah, cobalah
membatu membenahi. Saat ada yang bertanya, cobalah memberi solusi.
Lakukan
seperti bagaimana kamu ingin diperlukan. Begitulah seharusnya manusia hidup
dengan saling menghargai.
sumber; https://www.kompasiana.com/riskayunita/5dc634d2d541df208c0dcce2/lakukan-sebagaimana-kamu-ingin-diperlakukan?page=all#section1
Belum ada Komentar untuk "Percuma Berilmu jika Menghargai Sesama Saja Tak Mampu"
Posting Komentar