Kisah Haru Mahasiswa IPB Yang Hilang
Jumat, 26 Juni 2020
Tambah Komentar
..
Dia
masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang lima belas tahun silam di Pulau
Seram, Maluku, Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.
Tapi, dia disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.
Dia dielu- elukan segenap penjuru.
Kisahnya
menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi. Dia seperti sungai yang tak henti
mengalirkan inspirasi.
Hari
itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor. Lelaki berkulit legam itu
dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit. Temannya
membawakan sepatu dan jas untuknya. Dia menolak memakainya. Namun, temannya
bersikeras. Lelaki itu, Muhammad Kasim Arifin, serupa anak yang hilang. Dia
yang lahir di Langsa. Acch, 18 April 1938 itu adalah mahasiswa yang kembali setelah
15 tahun.
Teman-
temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya
seorang petani yang bersahaja. Tapi dia Justru jauh menjulang dibandingkan
semua orang.
Tahun
1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan
Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.
Di
masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat
lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku.
Dia
pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan
semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang
datang melalui program transmigrasi.
Nuraninya
terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada
dirinya. Dia memakai sandal jepit dan baju lusuh. Dia ikut menemani petani yang
berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan
bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah. Diajarkannya pengetahuan
yang didapatnya di kampus IPB.
Dia
membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, membuat
irigasi. Dia tidak menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat
masyarakat untuk bergotong-royong.
Kasim
peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri. Dia pun mendapat kasih sayang dari
semua orang.
Dia
disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim begitu larut
untuk membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di
Waimital hanya tiga bulan. Tapi dia merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat
semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan semua temannya
telah diwisuda, dia masih setia di kampung itu. Hingga semua temannya lulus dan
menjadi pejabat, dia tetap memilih di kampung itu hingga 15 tahun.
Di
Aceh, orang tuanya memanggil. Dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi
Hakim Nasution, memanggilnya kembali, dia masih juga bergeming. Tak kurang
akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Ķasim, untuk
menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor,
hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.
Kampus
memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar
akademik, tapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku
tidak sanggup membuat skripsi.
Teman-temannya
berinisiatif untuk merekam kisahnya di Waimital untuk diajukan sebagai skripsi.
Dia bercerita selama 28 jam. Temannya mencatat cerita itu dengan mata basah.
Semua terharu. Kasim adalah potret manusia yang melampaui dirinya. Dia bukan seperti
kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul
harta, kemudian hidup bahagia.
Dia
menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum,
hatinya mekar. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh
dari kata selesai. Dia lebur bersama masyarakat. Mulanya dia datang sebagai
Kasim, mahasiswa IPB yang penuh pengetahuan. Setelah 15 tahun, dia menjadi
bagian dari masyarakat.
Dia
tak lagi ingin sesegera mungkin lulus, kemudian menyandang toga dan bekerja di
instansi pemerintahan. Dia ingin membantu semua petani untuk sejahtera melalui
tindakan memuliakan bumi, menghargai lumpur, lalu mengolah tanah-tanah
pertanian. Dia mencintai tunas yang tumbuh lalu mekar jadi tanaman.
Hari
itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut
melihat banyak orang berdatangan, Semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak
karena pendingin udara dan suara bising di jalanan.
Di
acara wisuda, dia ingin duduk di kursi belakang. Namun begitu dia datang, semua
orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasinya membuat banyak orang merinding.
Dia adalah insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan
paling menjulang dibandingkan yang lain.
Lelaki
muda itu tetap Kasim yang bersahaja. Bahkan setelah wisuda pun, dia kembali ke
Waimital demi meneruskan kerja-kerjanya. Setelah beberapa waktu, barulah dia
menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjádi dosen di sana
hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan
diabadikan menjadi nama jalan.
Di
tahun 1982, Kasim mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk
jasa-jasanya membangun masyarakat desa déngan wawasan lingkungan hidup. Kasim
yang tidak gila pada penghargaan, "membuang" kalpataru itu di bawah
kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan
kalpataru itu ke rumahnya. Bahkan penghargaan pun bukan menjadí tujuannya.
Ketika
mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika serikat, dia menolak.
"Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda
dengan disini?" Katanya.
Dia
selalu menjadi Kasim yang menginspirasi. Kisah hidupnya ditulis ke dalam buku
berjudul Seorang lelaki dari Waimital yang ditulis Hanna Rambe di tahun 1983,
dan diterbitkan Sinar Harapan.
Seusai
pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di masa kini, betapa
sulitnya menemukan anak muda yang masih idealis seperti dirinya. Anak muda hari
ini berlomba-lomba untuk masuk dunia bisnis, mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya, lalu masuk ke lingkaran istana, entah sebagai staf milenial
atau sebagai staf menteri. Bahkan para akademisi muda bermimpi jadi dirjen,
staf khusus menteri, atau jadi pejabat di BUMN.
Kasim
adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak
mengering.
Saat
dia diwisuda di tahun 1979, salah seorang rekannya penyair Taufiq Ismail,
menulis puisi yang mengharukan tentang Kasim.
Salah
satu baitnya berbunyi:
Dari
pulau itu, dia telah pulang
Dia
yang dikabarkan hilang
Lima
belas tahun lamanya
Di
Waimital, Kasim mencetak harapan
Di
kota kita mencetak keluhan
(Aku
iadi ingat masa kita diplonco dua puluh tahun lalu)
Dan
kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat
mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi
bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika
aku mengingatmu, Sim
Di
Waimital engkau mencetak harapan
Di
kota, kami...
Padahal
awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan
yang tergantung di atas kota juga
Kau
kini telah pulang
Kami
memelukmu.
Sumber:
http://www.timur-angin.com/2020/06/kisah-haru-mahasiswa-yang-menghilang.html?m=1
Sukses
terus Petani Indonesia #www.panensegar.id
Belum ada Komentar untuk "Kisah Haru Mahasiswa IPB Yang Hilang"
Posting Komentar